Monday, April 19, 2010

Slow but sure E-Commerce Indonesia

Perjalanan E-commerce di Indonesia sudah menjadi rahasia umum jika kita sudah terbelakang dibandingkan negara-negara lain, bahkan tetangga seberang sekalipun yang sering kita cap pencuri kebudayaan.

Pada awalnya, sekitar tahun 90an, Indonesia sebenarnya sudah memiliki Payment Gateway untuk kartu kredit yaitu PT Cipas Indonesia. Namun kala itu kondisi perekonomian Indonesia yang mengalami krisis, menyebabkan banyak bank tutup termasuk bank acquiring yang terkoneksi dengan PT Cipas Indonesia.

Masih terasa krisis di Indonesia, sekitar tahun 2000an, muncul Payment Gateway baru. Namun fungsi mereka jauh lebih spesifik, yaitu hanya untuk pembayaran billing (Bill Payment) seperti PLN, PAM, Telkom, dll. Dari terminologi bahasa inggris tidak salah. Memang mereka adalah gerbang antara Customer dengan pihak pengelola usaha (PLN, PAM, dll) untuk masalah pembayaran. Jadi customer dan pengelola tidak perlu pusing. Customer tinggal datang ke 1 titik/point pembayaran, dan semua pembayaran bisa dilakukan disana. Dan juga pihak pengelola cukup menerima dana dari pihak ketiga yang sudah dikenal dan juga koneksi ke system pengelola untuk update pembayaran. Namun ini tidak ada hubungannya dengan e-commerce, namun lebih ke peningkatan pelayanan pembayaran, berupa online langsung ke system pengelola. Payment Gateway model ini tidak dapat digunakan untuk pembayaran seperti pembelian retail atau tiketing. Yang kita harapkan merupakan total solusi pembayaran saat itu belum muncul.

Debit ATM sudah sangat populer di masyarakat Indonesia. Hampir semua masyarakat perkotaan memiliki debit ATM, terutama dari Bank yang cukup terkenal dengan guyonan Bank Cape Antri. Walau antri, nasabah mereka terbanyak saat ini untuk individual. Tidak hanya antri di loket teller, namun di ATM2 mereka pun, ketika gajian tiba, terlihat antrian seperti lebaran atau natalan. Hingga mereka sekitar tahun 2000an, mulai dengan Internet Banking mereka yang cukup revolusioner. Mulai dari kasus phising dan pencurian data hingga metode yang teraman dengan Token, mereka sudah alami. Bisa dibilang pengalaman mereka didalam penanganan data transaksi sudah sangat banyak. Dan bank-bank lain pun mengikuti jejaknya untuk membuat internet banking mereka sendiri. Dengan cara ini, fungsi ATM bisa di bagi / pecah ke Internet Banking dimana nasabah tidak perlu antri lagi (di ATM/Teller) untuk melakukan transaksi non-tunai, seperti pindahbuku, transfer antar bank, dll.

Sekitar tahun 2006an, muncul konsep cashless yang lain yaitu e-wallet, konsep yang diluar negeri sudah menjadi kebutuhan primer untuk pembayaran. Contohnya di Jepang, pembayaran cukup dengan Tapping handphone mereka di alat penerima. Sedangkan di Indonesia, Flazz-lah yang pertama kali di kenalkan oleh BCA. Konsep yang menurut saya sedikit tumpang tindih dengan Debit ATM, namun cukup praktis juga untuk menipiskan dompet kita yang tebal gara-gara denominasi mata uang kita yang kecil. Kurang lebih bersamaan, E-Toll Card pun diluncurkan oleh Mandiri, diawali dengan kerjasama dengan pihak PT Jasa Marga sebagai solusi pembayaran cepat (tinggal Tap). Walau dengan awal yang cukup sedikit meresahkan dengan pemotongan dana berlebih, namun cukup sukses dikemudian hari. Ditambah dengan gerbang khusus unattended post khusus pemilik kartu e-toll ini. Kemudian, dilanjutkan ke mitra-mitra nya seperti AlfaMart yang dapat menggunakan wallet ini.

Kemudian disusul lagi oleh mitra non-banking, yaitu Telkomsel Cash (T-Cash). Sama seperti model wallet yang lain, memiliki limitasi 1 juta rupiah. Namun untuk pelanggan TSEL yang sudah terdaftar bisa mendapatkan limit hingga 5 juta rupiah. Caranya dengan mendaftarkan diri di Grapari kemudian top up menggunakan cash atau debit atau kartu kredit. Detail konsep Wallet akan dibahas pada blog berikutnya.

Lalu pada tahun 2007an muncul Internet Payment Gateway (IPG) yang mengkhususkan diri pada pembayaran melalui Internet menggunakan kartu kredit. Konsep yang sama seperti yang sudah dilakukan oleh negara-negara lain, IPG yang dikelola oleh PT Nusa Satu Inti Artha (NSIA) ini cukup mendapatkan response yang lumayan. Diawali dari merchant-merchant kecil, hingga Java Festival Production yang sudah sukses menjual tiket secara online internet. Disusul oleh airline seperti Citilink, yang awalnya cukup lumayan berdarah, karena harus mendapatkan kasus Fraud, hingga terkena Tiering dari VISA/Mastercard. Dengan pengalaman ini, bekerjasama dengan NSIA, berusaha untuk menekan tingkat fraud, dan berhasil hingga ke point 0,16% transaksi fraud. Kemudian diikuti oleh airline-airline lain seperti Garuda Indonesia, Batavia Air, Merpati, dan juga merchant-merchant lain. Hingga saat ini NSIA sudah terkoneksi ke 2 bank dan akan terus bertambah lagi. Informasi terakhir adalah bank BNI dan Citibank, dan berlanjut ke Bank Mandiri.

Sejalan dengan munculnya NSIA, pihak asing pun yang sudah mendominasi Bank-bank lokal, pun juga masuk memeriahkan pentas e-commerce. Yaitu BII MayBank dengan service MIGS (MasterCard Internet Gateway Service). Metode yang di jalankan MIGS tidak jauh berbeda konsepnya dari NSIA. Pada dasarnya IPG (NSIA dan MIGS) terkoneksi dengan Bank Acquirer. Dan IPG ini yang menjadi jembatan antara merchant dan Bank Acquirer. Lebih lanjutnya akan dibahas pada blog berikutnya.

Sebelum IPG lokal ada, Airasia Indonesia sudah menggunakan IPG juga namun lokasinya berada di Singapore (ENets), yang menggunakan mata uang asing (SGD) untuk transaksinya. Sehingga ada konversi mata uang yang dari sisi merchant juga akan menjadi dilema baik dari keuntungan yang didapat atau kemampuan penggunaan mata uang asing.

Hingga saat ini sudah banyak IPG yang masuk selain NSIA dan BII MIGS, yaitu Infinitium yang juga menggunakan system MIGS untuk core engine processing mereka. Dan kedepan sudah bisa dipastikan, selain IPG company, perusahaan EDC Switching akan ikut andil dalam menyuburkan e-commerce di Indonesia. Dan merchant-merchant punya kekuasaan untuk memilih layanan IPG yang mereka inginkan.